BAB II
PEMBAHASAN
KETENAGAKERJAAN
A.
Konsep
Ketenagakerjaan
Salah satu persoalan mendasar dalam aspek ketenagakerjaan
adalah pengangguran. Pengangguran terbuka (open unemployment) adalah orang yang
masuk dalam angkatan kerja (15 tahun keatas) yang sedang mencari pekerjaan,
yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena mesara tidak
mungkin mendapatkan pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan
(sebelumnya dikatagorikan sebagai bukan angkatan kerja), dan yang sudah punya
pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (sebelumnya dikatagorikan pekerjaan
bekerja), dan pada waktu yang bersamaan mereka tak bekerja (jobless). Selain
pengangguran terbuka, juga dikenal istilah Setengah Pengangguran (Under
Unemployment) yaitu tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal yang bekrja
kurang dari 35 jam selama seminggu. Permasalahan pengangguran dan setengah
pengguran ini merupakan persoalan serius karena dapat menyebabkan tingkat
pendapatan Nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi
maksimal. Diilihat dari penyebabnya, pengangguran dapat dikelompokkan menjadi
beberapa bagian :
- Pengangguran struktural yaitu : pengangguran yang terjadi karena adanya perubahan dalam struktur perekonomian. Penduduk tidak mempunyai keahlian yang cukup untuk memesuki sektor baru sehingga mereka menganggur. Contoh para petani kehilangan pekerjaan karena adanya berubahan dari daerah agraris menjadi daerah industri.
- Pengangguran siklus adalah pengangguran yang terjadi karena menurunnya kegiatan perekonomian (misal terjadi resesi) sehingga menyebabkan berkurangnya permintaan masyarakat (aggrerat demand).
- Pengangguran musiman adalah pengangguran yang terjadi karena adanya pergantian musin misalnya pergantian musim tanam ke musim panen.
- Pengangguran friksional adalah Pengangguran yang muncul akibat adanya ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja.
- Pengangguran teknologi adalah Pengangguran yang terjadi karena adanya penggunaan alat-alat teknologi yang semakin modern yang menggantikan tenaga krja manusia.
Data tentang situasi ketenaga kerjaan merupakan salah satu
data pokok yang dapat mengambarkan kondisi perekonomian, sosial, bahkan tingkat
kesejahteraan penduduk di suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu. Salah
satu isu penting dalam ketenagakerjaan, disamping keadaan angkatan kerja
(economically active population) dan struktur ketenagakerjaan adalah isu
pengangguran. Pengangguran dari sisi ekonomi merupakan produk dari
ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia.
Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas tidak mampu menyerap ‘para
pencari kerja’ yang senantiasa bertambah setiap tahun seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk. Tingginya angka pengangguran tidak hanya menimbulkan
masalah-masalah di bidang ekonomi saja melainkan juga menimbulkan berbagi
masalah di bidang sosial seperti kemiskinan dan kerawanan sosial.
Untuk memenuhi kebutuhan data ketenagakerjaan, Badan Pusat
Statistk (BPS) melaksanakan pengumpulan data ketenagakerjaan melalui berbagai
kegiatan sensus dan suevei antara lain Sensus Penduduk (SP), Survei Penduduk
Antar Sensus (Supas), Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Survei
Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Sakernas merupakan survei yang dirancang khusus
untuk mengumpulkan data ketenagakerjaan dengan pendekatan rumah tangga.
Dalam mengumpulkan data menyajikan data ketenagakerjaan, BPS
selalu menggunakan konsep/definisi yang direkomendasikan oleh Internasional
Labor Organization (ILO). Hal ini dimaksudkan terutama agar data
ketenagakerjaan yang dihasilkan dari berbagai survei di Indonesia dapat
dibandingkan secara Internasional, tanpa mengesampingkan kondisi ketenaga
kerjaan spesifik Indonesia. Menurut Konsep Labor Ferce Framework, penduduk
dibagi dalam beberapa kelompok.
Beberapa
konsep/definisi yang digunakan dalam ketenagakerjaan adalah sbb:
1.
Penduduk
Semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Republik
Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang
dari enam bulan tetapi bertujuan untuk menetap.
2.
Usia kerja
Indonesia menggunakan batas bawah usia kerja (economically
active population) 15 tahun (meskipun dalam survei dikumpulkan informasi mulai
dari usia 10 tahun) dan tanpa batas atas usia kerja.
3.
Angkatan Kerja
Konsep angkatan kerja merujuk pada kegiatan utama yang
dilakukan oleh penduduk usia kerja selama periode tertentu. Angkatan Kerja
adalah penduduk usia kerja yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara
tidak bekerja, dan pengangguran.
4.
Bukan angkatan kerja
Penduduk usia kerja tidak termasuk angkatan kerja mencakup
penduduk yang bersekolah, mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan
lainya.
5.
Bekerja
Kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntingan paling sedikit
1(satu) jam secara tidak terputus selama seminggu yang lalu. Kegiatan bekerja
ini mencakup, baik yang sedang bekerja maupun yang punya pekerjaan tetapi dalam
seminggu yang lalu sementara tidak bekerja, misal karena cuti, sakit dan
sejenisnya.
Kriteria satu jam (the one-hour criterion) digunakan dengan
pertimbangan untuk mencakup semua jenis pekerjaan yang mungkin ada pada suatu
negara, termasuk didalamnya adalah pekerja dengan waktu singkat (short-time
work), pekerja bebas, stand-by work dan pekerja yang tak beraturah lainnya.
Kriteria satu jam juga dikaitkan dengan definisi bekerja dan
pengangguran yang digunakan, dimana pengangguran adalah situasi dari ketiadaan
pekerja secra total, sehingga jika batas minimum dari jumlah jam kerja
dinaikkan maka akan mengubah definisi pengangguran yaitu bukan lagi ketiadaan
pekerjaan secara total.
Di samping itu, juga untuk memastikan bahwa pada suatu
tingkat agregasi tertentu input tenaga kerja total berkaitan langsung dengan
produksi total. Hal ini diperlukan terutama ketika dilakukan join analysis
antara statistik ketenagakerjaan dan statistik produksi. Kriteria satu jam ini
bisa berarti satu jam per minggu maupun satu jam per hari.
Berdasarkan sktivitas/kegiatan ekonomi yang merujuk pada the
United National System of National Accounts (SNA), penduduk usia kerja
dikatagorikan sebagai bekerja/memepunyai pekerjaan jika yang bersangkutan
bekerja (meskipun hanya bekerja satu jam dalam periode referensi) atau
mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja. Sejalan dengan the labour
force framework, definisi internasional untuk bekerja didasarkan pada periode
referensi yang pendek (satu minggu atau satu hari).
Bekerja
dibedakan menjadi :
- Bekerja dengan jam kerja normal (≥35jam)
- Setengah pengangguran
Penduduk yang bekerja kurang dari jam kerja norma l( dalam
hal ini 35 jam seminggu, tidak termasuk yang sementara tidak bekerja)
dikatagorikan sebagai setengah pengangguran.
Setengah
pengangguran dibedakan menjadi dua yaitu :
- Setengah pengangguran terpaksa
Mereka yang bekerja di bawah jam kerja normak (kurang dari
35 jam seminggu), dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima
pekerjaan.
- Setengah pengangguran sukarela
Mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari
35 jam seminggu), tetapi tidak mencari pekerjaan tau tidak bersedia menerima
pekerjaan lain.
6.
Pengangguran
Definisi untuk pengangguran adalah mereka yang tidak
mempunyai pekerjaan, bersedia untuk bekerja, dan sedang mencari pekerjaan.
Definisi ini digunakan pada pelaksanaan Sakernas 1986 sampai dengan 2000,
sedangkan sejak tahun 2001 definisi pengangguran mengalami
penyesuaian/perluasan menjadi sebagai berikut ;
Pengangguran adalah mereka yang tidak mencari pekerjaan
karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikatagorikan
sebagai bukan angkatan kerja), yang sudak punya pekerjaan tetapi belum mulai
bekerja (sebelumnya dikatagorikan sebagai bekerja), dan pada waktu yang
bersamaan mereka tak bekerja (jobless). Pengangguran dengan
konsep/definisi tersebut biasanya disebut sebagai pengangguran terbuka (open
unemployment).
Secara
spesifik, pengangguranterbuka dalam Sakernas, terdiri dari :
- Mereka yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan,
- Mereka yang tidak bekerja dan mempersiapkan usaha,
- Mereka yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan
- Mereka yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja, tetapi belum mulai bekerja.
Tingkat
Pengangguran Terbuka dihitung sbb;
TPT
= (UE/AK) * 100
Dimana
:
TPT
= Tingkat Pengangguran Terbuka
UE = Peduduk 15+ mencari pekerjaan, yang mempersiapkan
usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan
pekerjaan, yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.
AK
= Angkatan Kerja
B.
Teori-teori Ketenagakerjaan
1.
Teori Klasik Adam Smith
Adam
smith (1729-1790) merupakan tokoh utama dari aliran ekonomi yang kemudian
dikenal sebagai aliran klasik. Dalam hal ini teori klasik Adam Smith juga
melihat bahwa alokasi sumber daya manusia yang efektif adalah pemula
pertumbuhan ekonomi. Setelah ekonomi tumbuh, akumulasi modal (fisik) baru mulai
dibutuhkan untuk menjaga agar ekonomi tumbuh. Dengan kata lain, alokasi sumber
daya manusia yang efektif merupakan syarat perlu (necessary
condition) bagi pertumbuhan ekonomi.
2.
Teori Malthus
Sesudah
Adam Smith, Thomas Robert Malthus (1766-1834) dianggap sebagai pemikir klasik
yang sangat berjasa dalam pengembangan pemikiran-pemikiran ekonomi. Thomas
Robert Malthus mengungkapkan bahwa manusia berkembang jauh lebih cepat
dibandingkan dengan produksi hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Manusia berkembang sesuai dengan deret ukur, sedangkan produksi makanan hanya
meningkat sesuai dengan deret hitung.
Jika
hal ini tidak dilakukan maka pengurangan penduduk akan diselesaikan secara
alamiah antara lain akan timbul perang, epidemi, kekurangan pangan dan
sebagainya.
3.
Teori Keynes
John
Maynard Keynes (1883-1946) berpendapat bahwa dalam kenyataan pasar tenaga kerja
tidak bekerja sesuai dengan pandangan klasik. Dimanapun para pekerja mempunyai
semacam serikat kerja (labor union) yang akan berusaha memperjuangkan
kepentingan buruh dari penurunan tingkat upah.
Kalaupun
tingkat upah diturunkan tetapi kemungkinan ini dinilai keynes kecil sekali,
tingkat pendapatan masyarakat tentu akan turun. Turunnya pendapatan sebagian
anggota masyarakat akan menyebabkan turunnya daya beli masyarakat, yang pada
gilirannya akan menyebabkan konsumsi secara keseluruhan berkurang. Berkurangnya
daya beli masyarakat akan mendorong turunya harga-harga.
Kalau
harga-harga turun, maka kurva nilai produktivitas marjinal labor ( marginal
value of productivity of labor) yang dijadikan sebagai patokan oleh
pengusaha dalam mempekerjakan labor akan turun. Jika penurunan harga tidak
begitu besar maka kurva nilai produktivitas hanya turun sedikit. Meskipun
demikian jumlah tenaga kerja yang bertambah tetap saja lebih kecil dari jumlah
tenaga kerja yang ditawarkan. Lebih parah lagi kalau harga-harga turun drastis,
ini menyebabkan kurva nilai produktivitas marjinal labor turun drastis pula,
dan jumlah tenaga kerja yang tertampung menjadi semakin kecil dan pengangguran
menjadi semakin luas.
4.
Teori Harrod-domar
Teori Harod-domar (1946) dikenal
sebagai teori pertumbuhan. Menurut teori ini investasi tidak hanya menciptakan
permintaan, tapi juga memperbesar kapasitas produksi. Kapasitas produksi yang
membesar membutuhkan permintaan yang lebih besar pula agar produksi tidak
menurun. Jika kapasitas yang membesar tidak diikuti dengan permintaan yang
besar, surplus akan muncul dan disusul penurunan jumlah produksi.
5. Teori Tentang Tenaga Kerja
Salah satu masalah yang biasa muncul
dalam bidang angkatan kerja seperti yang sudah dibukakan dalam Latar belakang
dari pemelihan judul ini adalah ketidak seimbangan akan permintaan tenaga kerja
(demand for labor) dan penawaran tenaga kerja (supply of labor), pada suatu
tingkat upah. Ketidakseimbangan tersebut penawaran yang lebih besar dari
permintaan terhadap tenaga kerja (excess supply of labor) atau lebih besarnya
permintaan dibanding penawaran tenaga kerja (excess demand for labor) dalam
pasar tenaga kerja.
C. Kondisi Tenaga Kerja Di Indonesia
Permasalahan tenaga kerja di Indonesia semakin berat.
Bagaimana tidak berat, angka pengangguran saja sudah mencapai 38,3 juta jiwa.
Dari angka itu tercatat 8,1 juta yang menganggur total atau tidak bekerja sama
sekali dan tidak memiliki penghasilan. Sementara yang 30,2 juta, itu setengah
menganggur, atau mereka yang bekerja di bawah 35 jam. Bahkan, bila ada buruh
yang dibayar UMR, meski bekerja selama 40 jam, tak cukup untuk memenuhi standar
hidupnya.
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah
mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur
dan setengah penganggur yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang
merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan
pemborosan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga
dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan
sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Kondisi pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi
merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga
dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan
sosial dan kriminal; dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia
1.
Pengangguran dan pendidikan rendah
Masalah di atas pada akhirnya tali temali menghadirkan
implikasi buruk dalam pembangunan hukum di Indonesia. Bila ditelusuri lebih
jauh keempat masalah di atas dapatlah disimpulkan bahwa akar dari semua masalah
itu adalah karena ketidakjelasan politik ketenagakerjaan nasional. Sekalipun
dasar-dasar konstitusi UUD 45 khususnya pasal 27 dan pasal 34 telah memberikan
amanat yang cukup jelas bagaimana seharusnya negara memberikan perlindungan
terhadap buruh/pekerja.
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena
jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga
kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga
kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja. Fenomena
pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja,
yang disebabkan antara lain: perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya
akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang
menghambat inventasi; hambatan dalam proses ekspor impor, dll.
Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar
9,13 juta penganggur terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang
berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar (5.78
juta) adalah pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat sebanyak 2,7
juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless). Situasi
seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional. Masalah
lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam
kerja normal 35 jam per minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang.
Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada jabatan yang lebih rendah
dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas rendah.
Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah
38 juta orang yang harus segera dituntaskan.
Keadaan
Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja
Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di
atas salah satunya dipengaruhi oleh besarnya angkatan kerja. Angkatan kerja di
Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang. Mereka ini didominasi oleh
angkatan kerja usia sekolah (15-24 tahun) sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain,
45,33 juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti bahwa angkatan
kerja di Indonesia kualitasnya masih rendah.
Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan
setengah pengangguran tersebut adalah keadaan kesempatan kerja. Pada tahun
2002, jumlah orang yang bekerja adalah sebesar 91,6 juta orang. Sekitar 44,33
persen kesempatan kerja ini berada disektor pertanian, yang hingga saat ini
tingkat produktivitasnya masih tergolong rendah. Selanjutnya 63,79 juta dari
kesempatan kerja yang tersedia tersebut berstatus informal.
Dan selama hampir 25 tahun lebih pemerintah Indonesia
percaya, dengan jenis investor ini, sampai kemudian disadarkan oleh kenyataan
pahit bahwa jenis industri seperti itu adalah jenis industri yang paling gemar
melakukan relokasi. Pemindahan lokasi industri ke negara yang menawarkan upah
buruh yang lebih kecil, peraturan yang longgar, dan buruh yang melimpah. Mereka
diberikan gelar industri tanpa kaki (foot loose industries), karena kemudahan
mereka melangkah dari satu negara ke negara lainnya.
Indonesia yang mendapat era reformasi tahun 1998 secara
ambisius meratifikasisemua konvensi dasar ILO (a basic human rights
conventions) yaitu; kebebasan berserikat dan berunding, larangan kerja paksa,
penghapusan diskriminasi kerja, batas minimum usia kerja anak, larangan bekerja
di tempat terburuk. Ditambah dengan kebijakan demokratisasi baru dibidang
politik, telah membuat investor tanpa kaki ini kuatir bahwa demokratisasi baru
selalu diikuti dengan diperkenalkannya
Undang-undang baru yang melindungi dan menambah
kesejahteraan buruh. Bila ini yang terjadi maka konsekuensinya akan ada
peningkatan biaya tambahan (labor cost maupun overheadcost). Bagi perusahaan
yang masih bisa mentolerir kenaikan biaya operasional ini, mereka akan mencoba
terus bertahan, tetapi akan lain halnya kepada perusahaan yang keunggulan
komparatifnya hanya mengandalkan upah murah dan longgarnya peraturan, mereka
akan segera angkat kaki ke negara yang menawarkan fasilitas bisnis yang lebih
buruk.
Itulah sebabnya sejak tahun 1999-2002 diperkirakan jutaan
buruh telah kehilangan pekerjaan karena perusahaannya bangkrut atau re-lokasi
ke Cina, Kamboja atau Vietnam. Jenis indusri seperti ini sudah lama hilang dari
negara-negara industri maju, karena sistem perlindungan hukum dan kuatnya
serikat buruh telah membuat industri ini hengkang ke negara lain.
Investor yang datang ke sektor ini adalah investor yang
berbisnis dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam kita, bukan karena
sumber daya manusia yang melimpah. Industri ini juga tidak mengenal re-Iokasi
(kecuali kaJau sudah habis masa eksplorasi). Karena tidak di semua tempat ada
tersedia sumber daya alam yang melimpah. Mengandalkan terus-menerus industri ke
sektor padat karya manufaktur, akanhanya membuat buruh Indonesia seperti hidup
seperti dalam ancaman bom waktu.
Rentannya hubungan kerja akibat buruknya kondisi kerja, upah
rendah. PHK semenamena dan perlindungan hukum yang tidak memadai, sebenarnya
adalah sebuah awal munculnya rasa ketidakadilan dan potensi munculnya
kekerasan. Usaha keras dan pembenahan radikal harus dilakukan untuk menambah
percepatan investor baru. Saya sangat sedih mendengar berita tentang minimnya
atase perdagangan Indonesia yang mempromosikan potensi keunggulan ekonomi kita.
Indonesia dengan penduduk 210 juta Singapura, dengan penduduk 4 juta memiliki
125 atase perdagangan, Thailand dengan penduduk 60 juta punya 75 atase,
Malaysia 80, Philippine 45. Bagaimana mungkin negara lain tahu ada potensi kita
bila tenaga yang mempromosikannya hanya 25 orang.
Potensi investasi di banyak negara berkembang juga dapat
kita temukan di web-site khusus mereka, yang disediakan untuk menarik investor
asing potensial. Di dalam situs itu bisa ditemukan (bahkan infofmasi setiap
daerah) potensi bisnis apa yang layak dikembangkan. Indonesia sejauh yang saya
ketahui tidak punya situs informasi secanggih itu. Selain itu, poIitik nasional
kita juga tidak memiIiki komitmen sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas
SDM, terbukti dengan minimnya alokasi dana APBN yang disepakati politisi dan
pemerintah untuk anggaran pendidikan. Rasio anggaran pendidikan Indonesia untuk
untuk pendidikan hanya 1.6% dari PDB. Sementara itu Thailand 3,6. Singapura 2.3
dan India 3.3. Itu sebabnya banyak sekolah SD yang tidak mempunyai guru atau
hanya mempunyai 1 atau 2 orang guru yang mengajar semua kelas 1 sampai kelas 6.
2.
Minimnya perlindungan hukum dan rendahnya upah
Dalam kamus modern serikat buruh, hanya ada dua cara
melindungi buruh yaitu; Pertama, melalui undang-undang perburuhan. MeIalui
undang-undang buruh akan terlindungi secara hukum, mulai dari jaminan negara
memberikan pekerjaan yang layak, melindunginya di tempat kerja (kesehatan dan
keselamatan kerja dan upah layak) sampai dengan pemberian jaminan sosial setelah
pensiun.
Kedua, melalui serikat buruh. Sekalipun undang-undang
perburuhan bagus, tetapi buruh tetap memerlukan kehadiran serikat buruh untuk
pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB ). PKB adalah sebuah dokumen perjanjian
bersama antara majikan dan buruh yang berisi hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Hanya melalui serikat buruhlah – bukan melalui LSM ataupun partai
politik – bisa berunding untuk mendapatkan hak-hak tambahan (di luar ketentuan
UU) untuk menambah kesejahteraan mereka.
3.
Penurunan Pekerja Sektor Formal
Jumlah orang yang bekerja di sektor formal terus mengalami
penurunan semenjak tahun 2000 dan terus turun hingga lebih dari 1 juta lapangan
kerja yang hilang di tahun 2003. Kondisi ini terutama terlihat sekali pada
kelompok pekerja kasar. Di lain pihak, pekerja di sektor informal menunjukkan
gejala yang terus meningkat. Pada tahun 2003 terdapat peningkatan sekitar
400.000pekerja. Jumlah pekerja di sektor pertanian, dimana kebanyakan berada
pada sektor informal, juga kembali meningkat dari 40 persen pada tahun 1997
menjadi sekitar 46,3 persen pada tahun 2003. Kecenderungan ini merupakan
gambaran bahwa pekerjaan yang lebih produktif, dengan sistem jaminan socials
yang memadai sedang mengalami penurunan, digantikan dengan pekerjaan yang
kurang produktif dan tanpa proteksi sosial.
Penciptaan lapangan kerja yang mengecewakan saat ini amat
berbeda jauh dengan pengalaman Indonesia di masa lalu. Sebelum krisis
pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh ekspor dengan investasi tinggi merupakan
sumber utama penyerapan tenaga kerja. Antara tahun 1990 hingga 1995, industri
berorientasi ekspor beserta berbagai industri pendukungnya diperkirakan telah
menyediakan separuh dari total pekerjaan yang ada.
B.
Solusi masalah ketenagakerjaan di Indonesia
Secara
umum kita dapat mengatasi berbagai masalah ketenagakerjaan melalui berbagai
upaya praktis seperti berikut:
1.
Mendorong Investasi
Mengharapkan investasi dari luar negeri kenyataannya belum
menunjukkan hasil yang berarti selama tahun 2006 lalu. Para investor asing
mungkin masih menunggu adanya perbaikan iklim investasi dan beberapa peraturan
yang menyangkut aspek perburuhan. Kalau upaya terobosan lain tidak dilakukan,
khawatir masalah pengangguran ini akan bertambah terus pada tahun-tahun mendatang.
Beberapa produk perikanan dan kelautan juga sangat potensial
untuk dikembangkan seperti udang, ikan kerapu dan rumput laut dan beberapa
jenis budidaya perikanan dan kelautan lainnya. Sektor industri manufaktur dan
kerajinan, khususnya untuk industri penunjang - supporting industries seperti
komponen otomotif, elektronika, furnitur, garmen dan produk alas kaki juga
memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja.
Penulis juga mencermati banyak sekali produkproduk IT dan industri manufaktur yang
sangat dibutuhkan, baik untuk pasar domestik, maupun untuk pasar ekspor. Di
samping kedua sektor tersebut, sector jasa keuangan, persewaan, jasa konsultasi
bisnis dan jasa lainnya juga memiliki prospek baik untuk dikembangkan.
2.
Memperbaiki daya saing
Daya saing ekspor Indonesia bergantung pada kebijakan
perdagangan yang terus menjaga keterbukaan, disamping menciptakan fasilitasi
bagi pembentukan struktur ekspor yang sesuai dengan ketatnya kompetisi dunia.
Dalam jangka pendek, Indonesia dapat mendorong ekspor dengan mengurangi
berbagai biaya yang terkait dengan ekspor itu sendiri serta meningkatkan akses
kepada pasar internasional. Kebijakan yang dapat dipakai untuk mengontrol
biaya-biaya tersebut diantaranya i) Menjaga kestabilan dan daya saing nilai tukar
ii) Memastikan peningkatan tingkat upah yang moderat sejalan dengan peningkatan
produktifitas iii) Akselerasi proses restitusi PPn dan restitusi bea masuk
impor bagi para eksportir dan iv) Meningkatkan kemampuan fasilitas pelabuhan
dan bandara dan infrastruktur jalan untuk mengurangi biaya transportasi.
Pemerintah dapat berupaya lebih keras lagi dalam
menegosiasikan akses yang lebih besar ke pasar internasional pada pembicaraan
perdagangan multilateral Putaran Doha terbaru. Karena Indonesia telah mempunyai
kebijakan rezim perdagangan yang sangat terbuka, pemerintah dapat meminta
pemotongan bea masuk dan pembebasan atas berbagai pengenaan bea masuk bukan
ad-valorem oleh negara-negara maju, dengan dampak yang kecil bagi kebijakan
proteksi Indonesia sendiri.
3.
Meningkatkan Fleksibilitas tenaga kerja
Indonesia memiliki aturan ketenagakerjaan yang paling kaku
serta menimbulkan biaya paling tinggi di Asia Timur. Sebagai contoh, biaya
untuk mengeluarkan pekerja sangatlah tinggi; pesangon yang harus dibayarkan
mencapai 9 bulan gaji. Tentunya kebijakan pasar tenaga kerja harus berimbang
antara penciptaan pasar tenaga kerja yang fleksibel dengan kebutuhan untuk
memberikan perlindungan dan keamanan bagi tenaga kerja.
Langkah-langkah
praktis yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan fleksibilitas tenaga
kerja antara lain:
•
Menyelesaikan pelaksanaan perundang-undangan tenaga kerja dan berkonsentrasi
pada dua isu utama yang mendapat perhatian para pengusaha yaitu: i) keleluasaan
dalam mempekerjakan pekerja kontrak dan ii) keleluasaan dalam melakukan
outsourcing, dengan menekankan para sub-kontraktor untuk memenuhi hak-hak
pekerja mereka.
•
Menciptakan peradilan tenaga kerja, sebagaimana yang diatur dalam undang-undang
perselisihan hubungan industrial. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses
penyelesaian perselisihan tenaga kerja.
•
Membentuk tim ahli dalam menentukan tingkat upah minimum. Pemerintah pusat
dapat menjalankan kewenangan untuk membatasi peningkatan upah minimum di
daerah.
•
Jika diperlukan, merevisi Undang-undang mengenai Sistem Kesejahteraan Sosial
Nasional yang baru disahkan dan membentuk komisi tingkat tinggi yang bertugas
mendesain sistem kesejahteraan nasional. Sistem ini harus dapat dilaksanakan
dan mendukung penciptaan lapangan pekerjaan.
4.
Peningkatan Keahlian Pekerja
Pemerintah seharusnya dapat meningkatkan kemampuan angkatan
kerja. Lemahnya kemampuan pekerja Indonesia dirasakan sebagai kendala utama
bagi investor. Rendahnya keahlian ini akan mempersempit ruang bagi kebijakan
Indonesia untuk meningkatkan struktur produksinya. Walaupun pada saat sebelum
krisis pendidikan di Indonesia mencapai kemajuan yang luar biasa, dalam segi
kuantitas, kualitas pendidikan masih tertinggal dibandingkan dengan
negara-negara pesaing lainnya. Pemerintah harus lebih menekankan pencapaian
tujuan di bidang pendidikan formal dengan mereformasi sistem pendidikan, sesuai
dengan prinsip dan manfaat dari proses desentralisasi.
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Kondisi ketenagakerjaan di indonesia amatlah kurang dari
harapan. Angka pengangguran masih sangat tinggi, kualitas pekerja yang kurang
memadai dan berbagai factor lain yang turut memburuk kondisi tenaga kerja di
Indonesia. Kebijakan pemerintah berkenaan dengan ketenagakerjaan Indonesia
belumlah cukup untuk mengentaskan para pekerja dari kemiskinan.
2.
SARAN
Pemerintah dilarang mengambil keuntungan apapun dari
Jamsostek, bahkan sebaliknya. Pemerintah yang bertanggungjawab, harus
memberikan kontribusi setiap tahun, sehingga buruh bisa hidup layak. Pemerintah
harus segera merubah sistem jaminan sosial ketenagakerjaan, sehingga buruh
korban PHK danburuh pensiunan akan mendapat tunjangan layak dari Jamsostek.
Sistem Jaminan sosial ketenagakerjaan yang baik akan mengurangi kriminalitas
sosial. Diberikan jaminan penegakan hukum dan kepastian berusaha terhadap
investor, sehingga investor tidak bingung terhadap banyaknya prosedur “tidak
resmi” dalam proses pengurusan usaha, dan biaya-biaya yang tidak tercatat.
Faktor inilah membuat pengusaha enggan berusaha di Indonesi sehingga
menyulitkan dalam menyalurka tenaga kerja